Komitmen pemerintah untuk melakukan hilirisasi bahan tambang
bukanlah isapan jempol belaka. Secara bertahap, pemerintah terus melakukan
penghentian ekspor bahan tambang mentah dimulai dari nikel, bauksit, timah,
hingga alumina. Sejak bulan Januari 2020, kebijakan larangan ekspor nikel
mentah telah berhasil dilakukan.
Implementasi kebijakan larangan ekspor bahan tambang mentah
tersebut tentunya tidak dapat dikatakan berjalan mulus. Dengan jumlah produksi
nikel mencapai 1 juta metrik ton menjadikan Indonesia sebagai negara penghasil
nikel terbesar di dunia. Larangan ekspor nikel mentah tentu sangat berpotensi
mengganggu pasokan nikel global yang memicu konflik dagang.
Saat ini Uni Eropa melalui World
Trade Organization (WTO) tengah menggugat Indonesia terkait
kebijakan larangan ekspor nikel mentah. Padahal tujuan utama pemerintah
Indonesia menghentikan ekspor bahan tambang mentah adalah untuk meningkatkan
nilai tambah domestik melalui hilirisasi produk pertambangan.
Tantangan
Penerapan Hilirisasi Bahan Tambang Hilirisasi merupakan strategi untuk
meningkatkan nilai tambah komoditas yang dimiliki oleh suatu negara. Dengan
hilirisasi, komoditas yang diekspor tidak lagi berwujud bahan baku mentah
tetapi sudah menjadi barang setengah jadi. Hilirisasi
diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah komoditas, memperkuat struktur
industri, serta meningkatkan peluang usaha dalam negeri dengan tersedianya
lapangan pekerjaan baru.